A Good Man Is Hard To Find
(Orang Baik Sulit Ditemukan)
(Orang Baik Sulit Ditemukan)
by Flannery O'Connor
Sang nenek tidak mau pergi
ke Florida. Dia ingin menemui beberapa kenalannya di East Tennessee dan dia
menggunakan setiap kesempatan yang dimilikinya untuk mengubah pikiran Bailey.
Bailey adalah satu-satunya putra yang dimilikinya dan sekarang dengannyalah dia
tinggal. Bailey sedang duduk di kursinya, menekuk bagian olahraga di korannya.
“Sekarang, lihat ini, Bailey,” ujarnya, “lihat ke sini, baca ini,” kemudian dia
berdiri dengan satu tangan di pinggangnya yang kurus dan satunya lagi
mengibas-ngibaskan koran di depan kepala putranya yang telah membotak. “Lihat,
orang yang menyebut dirinya sendiri The Misfit ini berhasil meloloskan diri
dari penjara federal dan sekarang sedang mengarah ke Florida dan kau baca ini
apa yang dia lakukan terhadap orang-orang. Kau baca saja. Aku tidak akan
membawa anak-anakku ke arah yang sama di mana ada seorang penjahat berkeliaran.
Aku tidak akan dapat menghilangkan rasa bersalahku kalau benar-benar
kulakukan.”
Bailey tidak
mengalihkan pandangan dari bacaannya, jadi dia berputar dan mencoba untuk
mendekati ibu dari cucunya itu, seorang wanita muda yang mengenakan celana
panjang, wajahnya selebar dan selugu kubis dan di atas kepalanya terikat sebuah
ikat kepala hijau dengan dua ujung yang mencuat seperti telinga kelinci. Dia
sedang duduk di sofa, menyuapi si bayi. “Anak-anak sudah pernah ke Florida
sebelumnya,” kata sang nenek. “Kalian harus membawa mereka ke tempat lain untuk
mengganti suasana sehingga mereka dapat melihat bagian lain dunia ini. Mereka
tidak pernah ke East Tennessee.”
Ibu
anak-anak tersebut tampak tidak menghiraukannya, tapi putra mereka yang berumur
delapan tahun, John Wesley, seorang anak berbadan gempal dengan kacamata,
berkata, “Kalau nenek tidak mau ke Florida, kenapa tidak tinggal saja di
rumah?” dia dan seorang gadis kecil, June Star, sedang membaca majalah humor di
lantai.
“Nenek tidak
akan tinggal di rumah hanya untuk menjadi ratu sehari,” sahut June Star tanpa
mengangkat kepala kuningnya.
“Ya, dan apa
yang akan kalian lakukan jika orang ini, The Misfit, menangkap kalian?” sanggah
sang nenek.
“Aku akan
memukul wajahnya,” jawab John Welsey.
“Nenek tidak
akan tinggal di rumah walaupun kau beri uang satu juta,” sambung June Star.
“Dia tidak mau melewatkan sesuatu. Dia harus pergi kemanapun kita pergi.”
“Baiklah
nona muda,” sahut sang nenek. “Awas saja kau kalau nanti ingin aku menggelung
rambutmu.”
June Star
berujar bahwa rambutnya sudah menggelombang alami.
Esok paginya,
sang nenek menjadi yang pertama yang telah masuk ke mobil, siap untuk
berangkat. Dia membawa tas hitam besarnya yang terlihat seperti kepala kuda nil
di satu sisinya, dan di baliknya dia menyembunyikan sebuah keranjang dengan
Pitty Sing, kucingnya, di dalamnya. Dia tidak ingin meninggalkan kucingnya
sendirian di rumah selama tiga hari karena dia pasti akan sangat merindukannya
dan dia takut kucingnya akan menggosok-gosokkan badannya di salah satu pembakar
bensin dan secara tidak sengaja membuatnya sesak napas sendiri. Sementara
putranya, Bailey, tidak ingin tiba di motel dengan seekor kucing.
Dia duduk di
tengah kursi belakang dengan John Wesley dan June Star di kedua sisinya.
Bailey, istrinya, dan bayi mereka duduk di kursi depan dan mereka berangkat
meninggalkan Atlanta jam delapan lewat empat puluh lima menit dengan meteran
jarak di mobil pada angka 55890. Sang nenek mencatat ini karena pikirnya akan
menyenangkan saat dapat mengatakan berapa mil telah mereka tempuh saat mereka
pulang nanti. Mereka berjalan dua puluh lima menit untuk dapat sampai di
pinggir kota.
Sang nenek
menyesuaikan duduknya agar nyaman sementara dia melepaskan sarung tangan katun
putihnya dan meletakkannya bersama dengan dompetnya dalam rak di depan jendela
belakang. Sang ibu masih mengenakan celana panjangnya dan kepalanya masih
dilingkari ikat kepala hijau, namun sang nenek mengenakan topi pelaut jerami
biru dengan sejumput bunga putih di pinggirannya dan baju biru pelaut dengan
titik hitam kecil di sekitarnya. Kerah dan mansetnya berwarna putih dihiasi
dengan renda dan di garis lehernya telah dia tempel potongan bunga kain yang
berisi bedak. Kalau terjadi kecelakaan, siapapun yang melihat jasadnya di jalan
raya akan segera tahu bahwa dia seorang wanita.
Katanya dia
pikir hari itu merupakan hari yang tepat unjuk berjalan-jalan, tidak terlalu
panas juga tidak terlalu dingin, dan dia memperingatkan Bailey bahwa batas
kecepatan di jalan tersebut adalah lima puluh lima mil per jam dan bahwa
petugas patroli biasa bersembunyi di balik papan iklan dan rimbunan pohon dan
akan mengejarnya bahkan sebelum dia dapat memelankan laju kendaraannya. Dia
menunjuk detil-detil pemandangan yang menurutnya menarik: Gunung Batu; batu
granit biru yang di beberapa tempat muncul di kedua sisi jalan; tanah liat
berwarna merah cerah dengan sedikit garis-garis keunguan; dan bermacam-macam
tumbuhan yang berbaris lurus membentuk garis kehijauan di tanah. Pohon-pohon
seluruhnya berwarna putih keperakan karena sinar matahari dan yang di
tengah-tengahnya terlihat berkilauan. Anak-anak sedang membaca majalah komik
dan si ibu sudah tertidur.
“Ayo cepat
lewati Georgia, jadi kita tidak akan banyak melihat pemandangan seperti ini,”
pinta John Wesley.
“Kalau aku
anak kecil,” sahut sang nenek, “Aku tidak akan mengatai negara bagian asalku
dengan cara seperti itu. Tennessee punya pegunungan dan Georgia punya
perbukitan.”
“Tennessee
cuma tanah terlantar yang berbukit,” sanggah John Wesley, “dan Georgia juga
Negara bagian yang jelek.”
“Benar
sekali,” sambung June Star.
“Zaman nenek
dulu,” kata sang nenek, sambil melipat jemarinya yang telah berurat, “anak-anak
lebih menghormati negara bagian asal mereka, orang tua mereka, dan semuanya.
Orang-orang melakukan hal yang benar saat itu. Oh lihat anak kecil negro1
yang imut itu!” serunya sambil menunjuk ke anak Negro yang sedang berdiri di
depan pintu sebuah gubuk. “Bukankah itu pemandangan yang indah?” tanyanya dan
mereka berpaling dan melihat ke si anak Negro dari jendela belakang. Dia
melambaikan tangannya.
“Dia tidak
mengenakan celana,” komentar June Star.
“Dia mungkin
tidak punya,” jelas sang nenek. “Anak-anak kecil di country tidak punya benda-benda seperti kita. Kalau aku bisa
melukis, sudah kulukis pemandangan itu,” ujarnya.
Anak-anak
bertukar buku komik mereka.
Sang nenek
menawarkan diri untuk menggendong si bayi dan si ibu memberikan bayinya
kepadanya. Dia mendudukkannya di pangkuannya, menimangnya, lalu menceritakannya
apa saja yang telah mereka lewati selama perjalanan. Dia memutar matanya,
membengkokkan mulutnya, dan menempelkan wajah tipis kasarnya ke wajah lembut si
bayi. Kadang-kadang dia menunjukkan senyumnya dari jauh. Mereka melewati sebuah
kebun kapas dengan lima atau enam pemakaman yang dipagari di tengah-tengahnya
seperti pulau kecil. “Lihat kuburan itu!” teriak sang nenek sambil menunjuknya.
“Itu tanah pemakaman keluarga. Ada perkebunan juga di sana.”
“Mana
perkebunannya?” sahut John Wesley.
“Lenyap
Bersama Angin2,” ujar sang nenek. “Ha. Ha.”
Ketika
anak-anak sudah selesai membaca semua buku komik yang mereka bawa, mereka
membuka makan siang mereka kemudian memakannya. Sang nenek makan sandwich dengan selai kacang dan zaitun
dan tidak mengizinkan anak-anak membuang kotak dan serbet kertas mereka dari
jendela. Ketika tidak ada lagi yang dapat mereka lakukan, mereka bermain
tebak-tebakan dengan memilih awan dan yang lainnya harus menebak awannya
berbentuk seperti apa. John Wesley memilih awan yang berbentuk sapi dan June
Star menebak sapi, tapi John Wesley berkata, tidak, awannya berbentuk mobil,
dan June Star berkomentar bahwa dia tidak bermain dengan adil, kemudian mereka
saling memukul di depan sang nenek.
Sang nenek
kemudian menawarkan bahwa dia akan bercerita kalau mereka bisa bersikap tenang.
Ketika dia menceritakan sebuah cerita, matanya memutar lalu menggoyangkan
kepalanya dengan khidmat sehingga terlihat sangat dramatis. Dia bercerita bahwa
ketika dia masih muda, dia pernah didekati oleh Mr. Edgar Atkins Teagarden dari
Jasper, Georgia. Dia adalah pria yang berpenampilan menarik dan seorang gentleman dan dia selalu membawakannya
semangka setiap sabtu siang dengan inisial namanya terpahat di permukaan buah
semangka, E.A.T. Suatu hari, sambungnya, Mr. Teagarden membawa semangka dan
tidak ada orang di rumahnya, sehingga dia meninggalkannya di depan beranda
kemudian kembali dengan mobilnya ke Jasper, tapi sang nenek tidak pernah
menemukan semangkanya, jelasnya, karena seorang anak Negro memakannya ketika
melihat inisial E.A.T.! Cerita ini menggelitik John Wesley sehingga membuatnya
tak berhenti tertawa, tapi June Star tidak merasa ceritanya lucu. Katanya dia
tidak akan menikahi pria yang hanya membawakannya semangka setiap hari Sabtu.
Sang nenek yakin kalau dia pasti sudah hidup bahagia jika dulu dia memilih
untuk menikah dengan Mr. Teagarden, karena dia seorang gentleman dan pernah membawakannya satu kerat Coca-Cola saat
pertama kali dipasarkan dan telah meninggal beberapa tahun lalu, pria yang
sungguh kaya.
Mereka
berhenti di The Tower untuk membeli sandwich panggang. Sebagian tempat itu
diplester oleh semen, sementara
sebagiannya lagi dilapisi kayu, dan ada ruang dansa di halaman luar
Timothy. Seorang pria gendut bernama Red Sammy Butts mengelola tempat itu dan
ada stiker yang ditempel di sekitar gedung dan di sepanjang jalan raya,
bertuliskan; CICIPI BARBECUE TERKENAL SAMMY. TIDAK ADA BARBECUE SEENAK BUATAN
RED SAMMY! RED SAM! BOCAH GENDUT DENGAN TAWA BAHAGIA. SEORANG VETERAN! RED
SAMMY ADALAH JAGOANMU!
Red Sammy
sedang berbaring di lantai luar The Tower sementara kepalanya tertutupi di
bawah truk, dan ada seekor monyet berwarna abu-abu yang dirantai ke pohon
chinaberry kecil, mengoceh tidak jelas di dekatnya. Monyet itu berlari kembali
ke pohonnya dan memanjat setinggi mungkin saat melihat anak-anak meloncat
keluar dari mobil dan berlari ke arahnya.
Di dalamnya,
The Tower memiliki ruangan gelap panjang dengan sebuah meja kasir di salah satu
ujungnya dan meja-meja di sekitarnya dan lantai dansa di tengahnya. Mereka
semua duduk di meja lebar di samping kotak musik3, kemudian istri
Red Sam, seorang wanita dengan tubuh tinggi kecoklatan dengan rambut dan mata
yang lebih terang dibanding kulitnya, datang dan menanyakan pesanan mereka.
Sang ibu memasukkan satu koin uang ke dalam mesin musik tersebut dan memainkan
“The Tennessee Waltz,” sang nenek berkomentar bahwa nadanya selalu membuatnya
ingin menari. Dia bertanya kepada Bailey apakah dia ingin menari dengannya tapi
dia hanya menatapnya dengan tajam. Dia tidak memiliki watak secerah ibunya dan
perjalanan selalu membuatnya tegang. Mata coklat sang nenek sangat cerah. Dia
menggelengkan kepalanya kesana-kemari dan berpura-pura seolah dia sedang menari
di kursinya. June Star meminta dimainkan musik yang dapat ditarikannya,
kemudian ibunya memasukkan satu lagi uang koin dan memainkan sebuah musik lalu
June Star berjalan ke lantai dansa dan memulai tarian rutinnya.
“Manis
sekali dia,” ujar istri Red Sam sambil membungkuk di meja kasir. “Apa kau mau
menjadi putri kecilku?”
“Tidak, aku
sangat tidak mau,” jawab June Star. “Aku tidak ingin tinggal di tempat reyot
ini bahkan jika kau menawariku uang satu juta!” lalu dia berlari kembali ke
mejanya.
“Manis
sekali dia.” Ulangnya sambil melebarkan senyumnya dengan sopan.
“Apa kau
tidak tahu malu?” desis sang nenek.
Red Sam
datang dan menyuruh istrinya agar berhenti bermalas-malasan dan segera
mengerjakan pesanan orang-orang ini. Celana khakinya hanya menutupi sampai
pangkal paha dan perutnya bergantungan di atas pingulnya seperti sekantong
makanan yang bergoyang-goyang di balik kausnya. Dia mendekat lalu duduk di meja
terdekat di sana kemudian menghembuskan sesuatu yang merupakan suatu kombinasi
desahan dan siulan. “Kau tidak bisa menang,” desahnya. “Kau tidak bisa menang,”
lalu dia mengelapkan wajah merahnya yang telah dipenuhi keringat dengan sapu
tangan berwarna abu-abu. “Kau tidak tahu siapa yang dapat dipercaya zaman ini,”
sambungnya. “Bukankah itu benar?”
“Pastinya,
orang-orang sudah tidak seperti dulu lagi,” ujar sang nenek.
“Ada dua
orang datang kemari minggu lalu,” kata Red Sammy, “mengendarai mobil Chrysler.
Mobilnya sudah usang tapi tetap terlihat bagus dan mereka seperti orang
baik-baik. Katanya mereka bekerja di penggilingan dan apa kau tahu, aku
membiarkan mereka mengisi bahan bakar mereka secara cuma-cuma. Kalau
dipikir-pikir lagi, kenapa aku mau melakukannya?”
“Karena kau
orang yang baik!” sahut sang nenek dengan cepat.
“Iya,
mungkin,” ujar Red Sam pelan seolah-olah dia sangat terkejut dengan jawabannya.
Istrinya
membawakan pesanan mereka, membawa lima piring sekaligus tanpa nampan, dua
piring di setiap tangannya dan satu di lengannya. “Tidak ada seorang pun yang
dapat kau percaya di dunia ini,” ujarnya. “tidak seorang pun,” ulangnya sambil
melihat ke arah Red Sammy.
“Apa kau
membaca berita tentang penjahat, The Misfit, yang melarikan diri itu?” Tanya
sang nenek.
“Aku tidak
akan terkejut sedikit pun kalau dia tidak menyerang tempat ini,” jawabnya.
“Kalau dia tahu tentang tempat ini, aku pasti akan terkejut sekali bertemu
dengannya. Kalau dia tahu hanya ada dua sen di kotak uang, aku tidak akan
terlalu terkejut kalau dia…”
“Cukup
sudah,” potong Red Sam. “Bawakan pesanan Coca-Cola mereka,” kemudian istrinya
pergi unuk mengambilkan sisa pesanan mereka.
“Jarang ada
orang yang baik,” ujar Red Sammy. “Semuanya semakin memburuk. Aku masih ingat
dulu kita bisa pergi meninggalkan rumah dan membiarkan pintu depan terbuka.
Tapi sekarang tidak bisa lagi.”
Dia dan sang
nenek mulai mendiskusikan masa-masa lalu yang menurut mereka lebih baik.
Menurut sang nenek, Eropa-lah yang harus disalahkan sepenuhnya atas apa yang
terjadi sekarang. Katanya, Eropa membuat kita menganggap manusia terbuat dari
uang dan menurut Red Sam tidak ada gunanya membicarakan tentang hal itu, sang
nenek benar. Anak-anak berlari keluar melihat monyet yang dirantai ke pohon
chinaberry. Monyet itu sibuk menangkap lalat di sekitar tubuhnya dan
menggigitinya satu per satu seolah-olah itu adalah cemilannya.
Mereka
melanjutkan perjalan di siang hari yang terik. Sang nenek tertidur sebentar dan
terbangun setiap beberapa menit karena dengkurannya sendiri. Di luar daerah
Toombsboro dia terbangun dan ingat bahwa dia pernah mengunjungi kebun tua di
sekitar sana saat dia masih muda. Katanya rumah itu memiliki enam tiang
berwarna putih di depannya dan ada jalan yang dibarisi oleh pohon ek yang
mengarah ke sana dan dua anjang-anjang kecil yang terbuat dari kayu di
sisi-sisinya di mana kau bisa duduk dengan pasanganmu setelah berjalan-jalan di
kebun. Dia masih ingat dengan jelas jalan mana yang harus dilalui untuk sampai
ke sana. Dia tahu Bailey tidak mau membuang waktunya untuk melihat rumah tua
itu, tapi semakin dia menceritakannya, semakin dia ingin mengunjunginya sekali
lagi dan mencari tahu apakah anjangan kembar di depan rumah itu masih berdiri.
“Ada pintu rahasia di rumah ini,” katanya dengan nada meyakinkan, tidak
mengatakan yang sebenarnya tapi berharap itu benar, “dan sebuah cerita
mengatakan bahwa semua perak yang dimiliki keluarga itu disembunyikan di
dalamnya ketika Sherman datang tapi tidak pernah ditemukan sampai sekarang.”
“Hey!” seru
John Wesley. “Ayo kita pergi melihat rumah itu! Kita akan menemukannya! Kita
akan melepas semua kayu dan menemukannya! Siapa yang tinggal di sana? Di mana
kita harus berbelok? Hey Pop4, apa kita bisa ke sana?”
“Kita tidak
pernah ke rumah yang ada pintu rahasianya!” teriak June Star. “Ayo pergi ke
rumah itu! Hey Pop, apa kita bisa mengunjungi rumah dengan pintu rahasia itu?”
“Tempatnya
tidak jauh dari sini, aku tahu letaknya,” ujar sang nenek. “Perjalanan ke sana
tidak akan lebih dari dua puluh menit.”
Bailey tetap
menatap lurus ke depan. Rahangnya kaku seperti tapak kuda. “Tidak,” sahutnya.
Anak-anak
mulai berteriak bahwa mereka ingin melihat rumah dengan pintu rahasia itu. John
Wesley menendang punggung kursi depan dan June Star menggantung di pundak
ibunya dan merengek-rengek ke telinganya bahwa mereka tidak pernah
bersenang-senang di setiap liburan mereka, mereka tidak dapat melakukan apa
yang MEREKA inginkan. Si bayi mulai menangis dan John Wesley menendang punggung
kursi depan dengan sangat keras sampai ayahnya dapat merasakan tendangannya di
ginjalnya.
“Cukup!”
teriaknya dan menepikan mobil di pinggir jalan. “Apa kalian semua bisa diam?
Apa kalian semua bisa duduk sebentar saja? Kalau kalian tidak bisa diam, kita
tidak akan bisa ke mana-mana.”
“Itu akan
sangat berguna untuk mereka,” gumam sang nenek.
“Baiklah,”
sambung Bailey, “tapi ingat; kita akan berhenti untuk hal-hal seperti ini
sekali ini saja. Hanya untuk kali ini saja.”
“Jalan tanah
yang harus kita lewati berada sekitar satu mil di belakang,” tunjuk sang nenek.
“Aku melihatnya saat kita lewat tadi.”
“Jalan
tanah,” erang Bailey.
Setelah
mereka berputar dan berjalan mengarah ke jalanan yang tidak diaspal, sang nenek
mengingat hal-hal lain yang dimiliki rumah itu, kaca hias di pintu depan dan
lampu lilin di ruang tamu. John Wesley berpendapat bahwa pintu rahasianya
mungkin ada di perapian.
“Kalian
tidak boleh masuk ke dalam rumah,” sahut Bailey. “Kalian tidak tahu siapa yang
tinggal di sana.”
“Sementara
kalian semua berbicara dengan penghuni di sana, aku akan berlari ke belakang
dan masuk lewat jendela,” usul John Wesley.
“Kita akan
tetap tinggal di mobil,” kata ibunya.
Mereka
berbelok masuk ke jalan yang masih bertanah dan mobil mereka melaju di
sepanjang pusaran debu. Sang nenek bercerita tentang masa lalu saat belum ada
jalan beraspal dan tiga puluh mil adalah perjalanan sehari penuh. Jalanannya
berbukit dan ada tikungan-tikungan tajam berbahaya di setiap belokannya.
Tiba-tiba saja mereka telah tiba di sebuah bukit, melihat puncak pohon yang
berwarna biru jauh di bawah sana, kemudian mereka sampai di tempat yang
dikelilingi oleh pohon berdebu yang seolah menatap mereka semua.
“Rumah itu
sebaiknya ada di sekitar sini,” omel bailey, “atau aku akan berbelok memutar.”
Jalanan itu
terlihat seperti tidak ada seorangpun yang pernah melewatinya selama
berbulan-bulan.
“Sebentar
lagi kita sampai,” kata sang nenek dan tepat setelah dia mengatakannya, sebuah
prasangka mengerikan terlintas di benaknya. Pikiran yang sangat memalukan
sampai wajahnya berubah menjadi merah, matanya melebar, dan kakinya terlonjak,
mengguncangkan kopernya di sudut mobil. Setelah kopernya terguncang, permukaan
koran yang diletakannya di bawah keranjang meloncat naik bersamaan dengan
sebuah geraman dan Pitty Sing, kucingnya, meloncat ke pundak Bailey.
Anak-anak
terlempar ke lantai mobil dan ibu mereka, masih menggendong si bayi, terlempar
ke luar dan mendarat di tanah; sang nenek terhempas sampai ke kursi depan.
Mobil mereka jatuh ke jurang pendek dan bergelinding memutar sekali lalu
mendarat tidak jauh dari tepi jurang di atasnya. Bailey masih tetap di kursi
kemudi dengan kucing bergaris abu-abu, kepala putih, dan hidung oranye
menggelantung di lehernya seperi seekor ulat bulu.
Setelah
anak-anak dapat menggerakkan tangan dan kaki mereka, mereka segera merangkak
keluar mobil lalu berteriak, “Kita mengalami KECELAKAAN!” sang nenek menggelung
di bawah dasbor, berharap kalau dia terluka parah sehingga kemarahan Bailey
tidak akan meluap sekaligus padanya. Hal memalukan yang dipikirkannya sebelum
kecelakaan adalah rumah yang diingatnya dengan jelas itu bukan berada di
Georgia tapi di Tennessee.
Bailey
melepaskan pelukan kucing itu dari lehernya dan melemparkannya keluar jendela
sampai terhempas ke sebuah pohon pinus.
Kemudian dia keluar dari mobil dan mulai mencari istrinya. Dia sedang duduk
bersandar di sisi parit merah sambil menggendong bayinya yang menangis
histeris, ada luka sayatan di bawah wajahnya dan pundaknya patah. “Kita mengalami
KECELAKAAN!” anak-anak berteriak kegirangan. “Tapi tidak ada yang tewas,” sela
June Star dengan nada kekecewaan saat neneknya merangkak keluar mobil, topinya
masih melekat di kepalanya tapi pinggirannya yang telah rusak mencuat dengan
sudut yang aneh dan bunga plastiknya tergantung kusut di pinggirnya. Mereka
semua duduk di pinggir parit, kecuali anak-anaknya, untuk menghilangkan shok
setelah kecelakaan. Mereka semua gemetar.
“Mungkin
akan ada mobil yang lewat,” kata istrinya dengan suara serak.
“Kurasa
organku terluka,” komentar sang nenek, menekan pinggir badannya, tapi tak ada
yang menjawabnya. Gigi Bailey gemeletukan. Dia mengenakan kemeja olahraga
kuning dengan gambar burung beo di tengahnya dan sekarang wajahnya berubah
sekuning kemejanya. Sang nenek yakin bahwa dia tidak perlu menyebutkan kalau
rumah itu ada di Tennessee. Jalanannya terlihat sekitar sepuluh kaki di atas
mereka dan mereka hanya dapat melihat puncak pohon di sisinya. Di belakang
selokan yang mereka duduki, ada rimbunan pepohonan, tinggi menjulang, gelap,
dan lebat. Beberapa menit kemudian mereka melihat sebuah mobil di kejauhan, di
puncak bukit, berjalan mendekat dengan pelan seolah pengemudinya sedang
memperhatikan mereka. Sang nenek kemudian berdiri dan melambaikan tangannya secara
dramatis untuk menarik perhatian mereka. Mobil itu masih mendekat dengan pelan,
kemudian menghilang sebentar di belokan lalu muncul kembali, kini berjalan
semakin pelan di puncak bukit yang telah mereka lalui. Itu adalah mobil usang
besar berwarna hitam. Ada tiga pria di dalamnya.
Mobil itu
berhenti tepat di atas mereka dan selama beberapa menit, pengemudinya melihat
ke bawah dengan tatapan datar ke tempat di mana mereka sedang duduk, dan tidak
berkata apapun. Kemudian dia memutarkan kepalanya dan menggumamkan sesuatu ke
dua pria yang lain, kemudian mereka keluar dari mobil. Yang satu merupakan
lelaki gemuk, mengenakan celana hitam dan kaus merah dengan gambar kuda
berwarna perak yang menyembul di depannya. Dia berjalan memutar ke sisi kanan
dan berdiri sambil menatap mereka, mulutnya setengah terbuka membentuk seringai
lepas. Yang satunya lagi mengenakan celana khaki dan jaket bermotif garis-garis
biru dan sebuah topi abu-abu yang ditarik sangat ke bawah menutupi sebagian
wajahnya. Dia muncul ke sisi kiri, juga tidak mengatakan apa-apa.
Sang
pengemudi melompat keluar dari mobil dan berdiri di sampingnya, masih menatap
mereka. Dia terlihat lebih tua dibandingkan dua pria lainnya. Rambutnya mulai
beruban dan dia mengenakan kacamata berantai perak sehingga membuatnya terlihat
berpendidikan. Dia mempunyai wajah kusut panjang dan tidak mengenakan kaus
apapun. Dia mengenakan celana jins biru yang tercetak ketat di kakinya dan
sedang memegang topi hitam dan sebuah pistol. Dua lelaki lainnya juga mempunyai
pistol.
“Kami
mengalami KECELAKAAN!” teriak anak-anak.
Sang nenek
mendapat firasat aneh bahwa dia mengenali lelaki yang memakai kacamata itu.
Wajahnya terlihat familiar seolah dia telah mengenalnya selama hidupnya tapi
tidak dapat mengingat siapa dia. Dia menjauh dari mobil dan mulai turun
melewati tanggul di pinggiran tebing, menapakkan kakinya dengan hati-hati agar
tidak terpeleset. Kulitnya mengenakan sepatu putih tanpa kaus kaki, dan
pergelangan kakinya berwarna merah dan kurus. “Selamat siang,” sahutnya.
“Kulihat mobil kalian sepertinya terjungkal dari jurang.”
“Kami
terjungkal dua kali!” sahut sang nenek.
“Sekali,”
koreksinya. “Kami melihatnya. Coba nyalakan mobil mereka, Hiram,” katanya
dengan pelan kepada lelaki dengan topi abu-abu.
“Untuk apa
kau memiliki pistol itu?” Tanya John Wesley. “Apa yang akan kau lakukan dengan
pistol itu?”
“Lady,” kata
pria itu kepada ibu mereka, “maukah kau meminta anak-anakmu untuk duduk di
dekatmu5? Anak-anak selalu membuatku tegang. Aku ingin kalian semua
duduk bersama di sana.”
“Kenapa kau
memerintah KAMI?” Tuntut June Star.
Di belakang
mereka, barisan pepohonan membuka bak mulut gelap yang menganga. “Ayo ke sini,”
ajak ibu mereka.
“Tuan,”
mulai Bailey, “kami sedang mengalami kesulitan! Kami…”
Sang nenek memekik.
Dia menggopoh badannya agar dapat berdiri lalu menatap pria itu. “Kau adalah
The Misfit!” teriaknya. “Aku dapat mengenalimu!”
“Benar
ma’am,” jawabnya sambil tersenyum tipis seolah dia senang walaupun dia telah
dikenali, “tapi seharusnya lebih baik bagi kalian semua kalau kalian tidak
mengenaliku.”
Bailey
memutar kepalanya dengan tajam dan mengatakan sesuatu kepada ibunya yang bahkan
membuat anak-anaknya terkejut. Sang nenek mulai menangis dan wajah The Misfit
memerah.
“Lady,”
katanya, “jangan bersedih. Kadang-kadang lelaki mengatakan sesuatu yang tidak
dimaksudkannya. Kurasa dia tidak bermaksud berkata seperti itu padamu.”
“Kau tidak
akan menembak seorang wanita, kan?” Tanya sang nenek kemudian dia mengeluarkan
sapu tangan bersih dari mansetnya dan mulai menyapu matanya dengan itu.
The Misfit
menusukkan ujung sepatunya ke tanah dan membuat lubang kecil di sana kemudian
menutupnya kembali. “Aku benci jika harus melakukannya,” akunya.
“Dengar,”
sang nenek hampir berteriak, “Aku tahu kau pria yang baik. Kau tidak terlihat
seperti pria kebanyakan. Kau pasti datang dari keluarga baik-baik!”
“Benar
ma’am,” balasnya, “orang-orang terbaik di dunia.” Ketika dia tersenyum dia
menunjukkan barisan gigi putihnya yang kuat. “Tuhan tidak pernah membuat wanita
yang lebih baik daripada ibuku dan hati ayahku semurni emas,” lanjutnya. Lelaki
dengan kaus merah tebal berjalan ke belakang mereka dengan pistol di
pinggangnya. The Misfit berjongkok di tanah. “Awasi anak-anak mereka, Bobby
Lee,” perintahnya. “Kau tahu kalau mereka membuatku tegang.” Dia menatap mereka
berenam yang berpelukan bersama dan tiba-tiba terlihat malu seakan dia tidak
tahu apa yang harus dikatakannya. “Tidak ada awan di langit,” ujarnya sambil
menunjuk ke atas. “Tidak ada matahari tapi tidak ada awan juga.”
“Benar, hari
yang indah,” komentar sang nenek. “Dengar,” sambungnya, “kau tidak seharusnya
memanggil dirimu The Misfit karena aku tahu kau pria yang baik hati. Aku tahu
hanya dengan melihat dirimu.”
“Hush!”
teriak Bailey. “Hush! Semuanya diamlah dan biarkan aku menangani ini!” dia
berpose seperti seorang pelari yang hendak berlari tapi tetap tidak bergerak.
“Terima
kasih, lady,” ujar The Misfit dan menggambar sebuah lingkaran kecil di tanah
dengan pangkal pistolnya.
“Butuh
setengah jam untuk memperbaiki mobilnya,” sahut Hiram sambil melihat mereka
dari balik kap mobil.
“Well, kau
dan Bobby Lee bisa membawa dia dan anak kecil itu ke sana dengan kalian,”
perintah The Misfit sambil menunjuk ke arah Bailey dan John Wesley. “Anak
buahku ingin menanyakan sesuatu padamu,” katanya kepada Bailey. “Maukah kau
berjalan ke belakang sana, di balik hutan, dengan mereka?”
“Dengar,”
Bailey memulai, “Kami sedang dalam kesulitan besar! Tidak ada yang tahu tentang
ini,” dan suarannya memecah. Matanya sebiru dan sekaku gambar burung beo yang
tercetak di kausnya dan tidak bergerak sama sekali.
Sang nenek
meraih ke atas kepalanya untuk membenarkan pinggiran topinya seolah dia akan
ikut dengan mereka ke hutan tapi topinya malah terlepas dari tangannya. Dia
tegak menatap topinya dan setelah beberapa saat dibiarkannya jatuh ke tanah.
Hiram mengangkat Bailey dengan tangannya seolah dia sedang membantu seorang
kakek tua untuk dapat berdiri. John Wesley meraih tangan ayahnya dan Bobby Lee
mengikuti mereka dari belakang. Mereka berjalan masuk ke hutan dan sesaat
setelah mereka sampai di pinggir hutan, Bailey berbalik dan menahan dirinya
sendiri di batang pinus yang telah gersang, kemudian dia berteriak, “Aku akan
kembali sebentar lagi, Mamma, tunggu aku!”
“Cepatlah
kembali!” ibunya melengkik tapi mereka telah menghilang di balik hutan.
“Bailey!”
panggil sang nenek dengan suara tragis lalu dia melihat The Misfit yang sedang
berjongkok di depannya. “Aku tahu kau orang baik,” ujarnya dengan nada putus
asa. “Kau tidak seperti orang lain!”
“Tidak, aku
bukan orang yang baik,” jawab The Misfit setelah beberapa saat seolah dia
menimbang-nimbang pernyataannya dengan hati-hati, “tapi bukan juga yang
terburuk di dunia ini. Ayahku bilang aku ini peranakan dari anjing yang berbeda
dengan kakak dan adikku. ‘Kau tahu,’ kata Daddy, ‘beberapa orang dapat hidup
tanpa bertanya-tanya tentang hidupnya tapi beberapa orang ingin tahu kenapa
mereka harus hidup, dan kau adalah salah satu dari orang-orang itu. Kau akan
menjadi segalanya!’” dia mengenakan kembali topi hitamnya dan melihat mereka
sekejap kemudian ke dalam hutan seolah-olah dia telah menjadi malu lagi. “Maaf,
aku tidak mengenakan kaus di depan kalian para wanita,” ujarnya sambil
membungkukkan sedikit pundaknya. “Kami mengubur pakaian yang kami kenakan saat
melarikan diri dan bertahan dengan apa yang ada sampai kami mendapat yang lebih
baik. Kami meminjam ini dari orang-orang yang kami temui,” dia menjelaskan.
“Tidak
apa-apa,” komentar sang nenek. “Mungkin Bailey punya pakaian lebih di
kopornya.”
“Aku akan
langsung mencarinya nanti,” kata The Misfit.
“Ke mana kau
membawanya?” sang ibu dari anak-anak berteriak.
“Daddy juga
orang yang jujur,” ujar The Misfit. “kau tidak dapat melawannya. Dia tidak
pernah bermasalah dengan pihak berwajib. Hanya sering berurusan dengan mereka.”
“Kau juga
bisa hidup dengan jujur kalau kau mau mencobanya,” kata sang nenek. “Bayangkan
betapa indahnya hidup menetap dan nyaman tanpa harus khawatir bahwa seseorang
sedang mengejarmu sepanjang waktu.”
The Misfit
masih menggaruk-garuk tanah dengan pangkal pistolnya seolah dia sedang
memikirkan perkataannya dalam-dalam. “Iya, ma’am, seseorang selalu mengejarmu,”
gumamnya.
Sang nenek
baru sadar betapa kurus tulang pundaknya di balik topinya karena sekarang dia berdiri
menatapnya di bawah. “Apa kau sering berdo’a?” tanyanya.
Dia
menggelengkan kepalanya. Yang dilihatnya hanyalah topinya yang bergoyang di
antara tulang pundaknya. “Tidak,” jawabnya.
Ada suara
tembakan pistol dari arah hutan lalu satu tembakan lagi. Kemudian hening.
Kepala sang nenek menggeleng-geleng. Dia dapat mendengar desiran angin yang
menyapu melalui puncak pepohonan seperti helaan napas puas. “Bailey!”
panggilnya.
“Aku pernah
menjadi penyanyi gereja,” cerita The Misfit. “Aku hampir pernah menjadi
semuanya. Pernah bergabung dengan angkatan darat dan laut, menetap di rumah dan
berkeliling dunia, pernah dua kali menikah, menjadi penggali kuburan, bekerja
di perlintasan kereta, membajak kebun, terseret tornado, melihat seseorang
terbakar hidup-hidup sekali,” kemudian dia menatap ke arah ibu dari anak-anak
itu dan putrinya yang sedang duduk berdekatan, wajah mereka memucat dan mata
mereka berair; “Aku bahkan pernah melihat wanita dicambuk,” akunya.
“Berdo’alah,”
sela sang nenek, “berdo’alah…”
“Seingatku
aku tidak pernah menjadi anak nakal,” ujar The Misfit hampir dengan suara yang
menggema, “tapi suatu hari aku melakukan kesalahan dan dikirim ke penjara. Aku
dikubur hidup-hidup,” dan dia menatap mereka agar tetap mendapatkan perhatian
mereka dengan tatapan pasti.
“Saat itulah
kau seharusnya mulai berdo’a,” ujar sang nenek. “Apa yang kau lakukan sampai
kau dikirim ke penjara pertama kalinya?”
“Menoleh ke
kanan, ada tembok,” kata The Misfit, menengadah lagi ke langit yang tak
berawan. “menoleh ke kiri, juga ada tembok. Lihat ke atas, ada langit-langit,
lihat ke bawah, ada lantai. Aku lupa apa yang telah kulakukan, lady. Aku terus
duduk termenung di sana, mencoba mengingat apa yang telah kulakukan dan tidak
dapat mengingatnya bahkan sampai sekarang. Kadang-kadang, aku hampir dapat
mengingatnya, tapi tidak pernah berhasil ingat seutuhnya.”
“Mungkin
mereka salah memasukkanmu ke penjara,” komentar sang nenek dengan ragu-ragu.
“Tidak,”
sahutnya. “Itu bukan sebuah kesalahan. Mereka punya buktinya.”
“Kau mungkin
telah mencuri sesuatu,” ujarnya lagi.
The Misfit
menyeringai sedikit. “Tidak ada orang yang memiliki apa yang kuinginkan,”
jawabnya. “Dokter kepala di penjara mengatakan bahwa aku telah membunuh ayahku
tapi aku tahu itu bohong. Ayahku mati karena serangan flu epidemis dan aku
tidak ada hubungannya dengan itu. Dia dikuburkan di halaman gereja Mount
Hopewell Baptist, kau bisa pergi ke sana dan melihatnya sendiri.”
“Kalau kau
mau berdo’a,” ujar sang nenek, “Yesus akan menolongmu.”
“Benar,”
jawab The Misfit.
“Kalau
begitu, kenapa kau tidak mulai berdo’a?” tanyanya dengan gemetar senang
tiba-tiba.
“Aku tidak
membutuhkan pertolongan,” katanya. “Aku baik-baik saja.”
Bobby Lee
dan Hiram berjalan mendekat dengan santai dari hutan. Bobby Lee membawa sepotong
kemeja kuning bergambar burung beo berwarna biru cerah.
“Berikan aku
kemeja itu, Bobby Lee,” perintah The Misfit. Kemeja itu melayang ke arahnya dan
mendarat di atas pundaknya lalu dia mengenakannya. Sang nenek tidak dapat
mengingat kemeja siapa itu. “Tidak, lady,” potong The Misfit sambil mengancingi
kemejanya, “Aku yakin melakukan kejahatan bukanlah masalah. Kau bisa melakukan
sesuatu atau yang lain, membunuh seseorang atau mengambil ban mobilnya, karena
cepat atau lambat kau akan melupakan apa yang telah kau lakukan kemudian
dihukum karenanya.”
Ibu
anak-anak itu mulai membuat suara sesak napas seolah dia tidak dapat bernapas
dengan lancar. “Lady,” pintanya, “maukah kau dan anak perempuanmu berjalan ke
sana dengan Bobby Lee dan Hiram dan bergabung dengan suamimu?”
“Baiklah,
terima kasih,” jawab sang ibu pelan. Tangan kirinya bergantung tak berdaya dan
dia masih menggendong bayinya, yang telah tertidur pulas, dengan tangan
kanannya. “Bantu wanita itu berdiri, Hiram,” perintah The Misfit saat wanita
itu berusaha berdiri dari parit, “dan Bobby Lee, kau pegang tangan anak gadis
itu.”
“Aku tidak
ingin berpegangan tangan dengannya,” komentar June Star. “Dia mengingatkanku
dengan seekor babi.”
Wajah lelaki
gemuk itu memerah malu kemudian tertawa lalu menangkap lengannya dan menariknya
berjalan ke dalam hutan di belakang Hiram dan ibunya.
Sendirian
dengan The Misfit, sang nenek sadar dia kehilangan suaranya. Tidak ada awan
maupun matahari di langit. Tidak ada apapun di sekitarnya kecuali pepohonan.
Dia ingin menyuruhnya berdoa. Dia membuka dan menutup mulutnya beberapa kali
sebelum dapat mengatakan apapun. Akhirnya dia dapat berucap, “Yesus. Yesus,”
artinya, Yesus akan menolongmu, tapi dari cara dia mengucapkannya, malah
terdengar seolah dia mengumpat.
“Benar,
ma’am,” ujar The Misfit seolah dia setuju dengannya. “Yesus menunjukkan
semuanya berjalan seimbang. Sama halnya dengan Dia dan aku, kecuali Dia tidak
melakukan kejahatan dan mereka dapat membuktikan bahwa aku yang melakukannya
karena mereka punya bukti-bukti yang melawanku. Tentu saja,” katanya, “mereka
tidak pernah menunjukkan bukti-buktiku. Karena itulah aku akan membuatnya
sendiri sekarang. Dulu kita bisa membuat tanda tangan sendiri dan menandatangi
semua yang kita lakukan lalu mengambil salinannya. Kemudian kita dapat
mengetahui apa yang telah kita lakukan dan kita dapat menunda hukuman dan
menyaksikan apakah tanda tangan di salinan dan yang asli cocok, kemudian pada
akhirnya kita punya sesuatu untuk membuktikan bahwa kita telah diperlakukan dengan
tidak adil. Aku menyebut diriku sendiri The Misfit,” jelasnya, “karena aku
tidak dapat membuat kesalahanku sesuai (fit)
dengan apa yang telah aku jalani sebagai hukuman.”
Terdengar
jeritan melengking dari arah hurtan, diikuti dengan suara tembakan senjata.
“Apakah itu terlihat adil bagimu, lady, bahwa seseorang dihukum berat sementara
yang lain tidak dihukum sama sekali?”
“Yesus!”
teriak sang nenek. “Kau keturunan orang baik-baik! Aku tahu kau tidak akan
menembak seorang wanita! Aku tahu keluargamu juga orang baik-baik! Berdoa’lah!
Ya Tuhan, kau tidak boleh menembak seorang wanita. Akan kuberikan kau semua
uang yang kupunya!”
“Lady,” ujar
The Misfit sambil melihat ke kejauhan dalam hutan, “tidak pernah ada mayat yang
memberikan penggali kubur imbalan uang.”
Kemudian
terdengar dua suara tembakan lagi dan sang nenek mengangkat kepalanya seperti
ayam turkey panggang yang berteriak meminta air dan memanggil, “Bailey,
Bailey!” seolah jantungnya akan meledak.
“Hanya Yesus
yang pernah membangkitkan yang telah mati,” sambung The Misfit, “dan seharusnya
dia tidak melakukannya. Dia menunjukkan segalanya berjalan seimbang. Jika Dia
melakukan apa yang dikatakannya, maka tidak ada lagi yang dapat kau lakukan
kecuali berserah diri dan menuruti perintah-Nya, dan jika Dia tidak memenuhi
janji-Nya, maka tidak ada lagi yang harus kau lakukan kecuali menikmati sisa
hidupmu sebaik mungkin dengan membunuh seseorang dan membakar rumahnya atau
melakukan hal kejam lain kepadanya. Bukan kesenangan tapi kekejaman,” ujarnya dan
kini suaranya hampir terdengar seperti geraman.
“Mungkin Dia
tidak membangkitkan yang mati,” gumam sang nenek, tidak tahu persis apa yang
sedang dikatakannya dan merasa pusing sehingga dia ambruk dalam posisi duduk di
pinggir parit dengan kakinya yang melipat di bawahnya.
“Aku tidak
ada di sana saat itu, jadi aku tidak tahu pasti,” aku The Misfit. “Kuharap aku
ada di sana,” ujarnya sambil memukul tanah dengan kepalan tangannya. “Itu salah
sekali, karena jika aku ada di sana, aku pasti tahu. Dengar, lady,” katanya
dengan nada tinggi, “jika aku ada di sana, aku tahu aku tidak akan menjadi
seperti ini.” Suaranya terdengar hampir
pecah dan kepala sang nenek segera menjadi jelas. Dia melihat wajah pria itu
terlipat dekat dengan wajahnya seolah dia akan menangis, kemudian sang nenek
bergumam, “Tentu saja, kau adalah salah satu anak-anakku!” Dia merengkuh dan
menyentuh pundaknya. The Misfit terlonjak ke belakang seolah seekor ular telah
menggigitnya lalu menembak sang nenek tiga kali di dada. Kemudian dia menurunkan
pistolnya di tanah lalu melepaskan kacamatanya dan mulai membersihkannya.
Hiram dan
Bobby Lee muncul kembali dari balik hutan dan berdiri di atas parit sambil
melihat sang nenek yang setengah duduk dan setengah berbaring di atas genangan
darah dengan kakinya bersila di bawahnya seperti anak kecil yang sedang duduk
dan wajahnya tersenyum menengadah ke langit tak berawan.
Tanpa
kacamatanya, mata The Misfit melingkar merah, pucat, dan terlihat tak berdaya.
“Angkat dia dan lemparkan ke tempat di mana kalian melempar yang lainnya,”
perintahnya sambil mengangkat kucing yang menggosok-gosokkan badannya di
kakinya.
“Dia cerewet
sekali, kan?” komentar Bobby Lee sambil turun melewati parit dengan bernyanyi.
“Dia
seharusnya bisa menjadi wanita yang baik,” ujar The Misfit, “jika saja ada
seseorang yang menembaknya di setiap menit hidupnya.”
“Menyenangkan
sekali!” sahut Bobby Lee.
“Diamlah
Bobby Lee,” kata The Misfit. “Bukan ini kesenangan sejati di dunia.”
[Selesai]
Catatan penerjemah:
1. ‘Pickaninny’; sebutan di Amerika
untuk anak kulit hitam (bermakna mengejek atau menghina).
2. Sang nenek mengacu pada sebuah judul
lagu; ‘Gone With the Wind’.
3. ‘nickelodeon’; kotak music/ jukebox
yang akan memutarkan lagu dengan memasukkan uang logam/nickel.
4. ‘Pop’; panggilan yang kurang sopan
untuk orang tua (ayah, kakek, dll)
5. Karakter ini sengaja ditulis dengan
cara berbicara bahasa Inggris yang salah, menandakan bahwa dia mungkin seorang
imigran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar